Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq.

Suarageram.co – Belakangan ini kita dihebohkan dengan kejadian anak-anak sekolah yang mengalami keracunan akibat menyantap makan siang gratis di sekolah. Program Makan Bergizi Gratis atau MBG ini merupakan program unggulan Presiden RI Prabowo dan Wapres Gibran.

MBG merupakan langkah pemerintah dalam rangka mewujudkan generasi sehat dan cerdas dalam bentuk asupan makanan yang diyakini lebih baik dan bergizi dibanding makanan yang selama ini disediakan oleh orangtua siswa di rumah.

“Lho, koq sampai segitunya? Lha, emang begitu. Kan MBG diyakini sebagai cara pemerintah untuk menyiapkan generasi emas yang diharapkan bisa terwujud pada tahun 2045, seratus tahun setelah Indonesia berdiri sebagai negara,” terang Ocit.
IMG 20250925 WA0029Ocit Abdurrosyid Siddiq. Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar, Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta (AKSeS) Provinsi Banten.

Padahal menurut Ocit, selama ini mayoritas orangtua siswa masih bisa dan mampu memberi makan bagi anak-anak mereka. Artinya, tanpa dikasih makan siang pun oleh pemerintah, para orangtua masih bisa sekedar untuk memberi makan siang mah bagi anak-anaknya.

Dalam perjalanannya, MBG menghadapi beragam masalah. Mulai dari penunjukkan dapur pengelola, nampan yang diduga mengandung minyak babi, makanan yang tersisa dan karenanya terbuang, hingga keracunan massal yang belakangan ini terjadi.

Yang paling krusial adalah pembiayaan yang tidak sedikit. Kementerian Keuangan mencatat realisasi program MBG ini mencapai Rp. 13 triliun atau sekitar 18,3 persen dari total pagu APBN sebesar Rp. 71 triliun sampai dengan September 2025.

Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 bakal fokus digunakan untuk mendanai program-program prioritas nasional. Program prioritas dengan alokasi kenaikan terbesar ya MBG ini. Tahun depan, anggaran makan untuk anak sekolah ini mencapai Rp. 335 triliun.

Dengan besaran anggaran MBG 2026 yang mencapai Rp 335 triliun itu, nilainya hampir separuh total RAPBN tahun depan yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Dana pendidikan yang dialokasikan dalam RAPBN 2026 adalah sebesar Rp. 757,8 triliun dilansir dari Kompas.com.

Sehingga, dana MBG pada tahun depan setara dengan 44,2 persen dari anggaran pendidikan. Jadi, hampir setengahnya uang negara yang selama ini diperuntukkan bagi pendidikan; pelatihan guru, bantuan sarana pendidikan, dan yang lainnya, kini akan dialokasikan untuk makan siang.

Dengan postur anggaran bagi pendidikan yang seperti demikian, maka bisa dibayangkan pada tahun 2026 nanti, dunia pendidikan akan lebih sepi dari aktivitas berupa peningkatan kapasitas para pendidik, serta pengadaan sarana pendidikan. Karena dananya banyak tersedot untuk makan siang ini.

Di lapangan, praktiknya malah lebih kompleks. Sebut saja misalnya perihal penunjukan pengelola dapur MBG. Pemerintah sendiri belum siap mengelolanya secara langsung, sehingga melibatkan pihak swasta. Dalam hal ini yayasan yang dikelola oleh masyarakat.

Banyak yayasan pengelola MBG yang selama ini tidak bergerak dan tidak memiliki pengalaman dalam bidang makanan. Bisa jadi, ini juga yang menjadi salah satu faktor penyebab adanya kejadian keracunan belakangan ini.

Mengolah makanan dalam jumlah besar yang dilakukan oleh masyarakat, sebetulnya sudah biasa dilakukan, misalnya oleh rumah makan. Atau pesta hajatan pernikahan dan khitanan. Namun jarang sekali ditemukan adanya peristiwa keracunan massal.

Mengelola dan mengolah makanan dalam jumlah besar yang dilakukan oleh yayasan yang belum memiliki pengalaman, pastinya sangat rentan. Apalagi bila ditemukan praktik culas seperti hanya mementingkan keuntungan dan mengabaikan kualitas dan kesehatan makanan yang disajikan.

Sebagian dari para guru juga kini mulai mengeluh dengan adanya pemberian MBG di sekolah ini. Mereka ketiban tambahan pekerjaan berupa kewajiban untuk membagikan makanan kepada siswa. Termasuk mengumpulkan peralatan makan yang mesti dikembalikan ke pengelola dapur MBG.

Yang tragis, setelah munculnya banyak kejadian keracunan siswa, kini guru disarankan untuk menjadi semacam tester dengan cara menguji coba dulu makanan yang tersaji sebelum diberikan kepada siswa.

Mereka disarankan mencicipi makanan terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada siswa. Bila sekiranya aman dan tidak akan menimbulan masalah, makanan baru dan boleh dibagikan kepada siswa.

Tetapi bila sebaliknya, ternyata setelah dicicipi muncul kondisi yang menunjukkan gejala keracunan, dan disimpulkan menu makanan berbahaya bila dikonsumsi, maka urung dibagikan. Guru menjadi kelinci percobaan bagi program MBG.

Atas beragam permasalahan yang dihadapi tersebut, Penulis menyarankan agar program MBG ini dievaluasi, dikaji ulang, dan dihentikan. Anggaran yang begitu besar untuk makan siang ini, sebaiknya alokasikan untuk kepentingan pendidikan yang lebih strategis dan krusial.

Karena -sekali lagi- para orangtua siswa masih mampu ngempanin anak untuk sekedar makan siang mah. Mereka enggak bakalan pundung kalau anak-anaknya tidak mendapat makan siang di sekolah. Wong selama ini juga begitu, koq. Wallahualam.

Sumber: Ocit Abdurrosyid Siddiq.
Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar, Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta (AKSeS) Provinsi Banten.