Suarageram.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai kehadiran pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir pantai utara (pantura), Kabupaten Tangerang, Banten, selain merugikan nelayan dan merusak ekosistem lingkungan, kehadiran pagar laut itu merupakan bagian atau motif dari Reklamasi.
“Sebetulnya konsentrasi kita bukan pada pagar nya, tapi itu ada motif dan upaya untuk mereklamasi, karena ada enam dokumen Perda Tata Ruang nomor 13 tentang Tata Ruang Kabupaten Tangerang dan terkait wilayah strategis pengelolaan wilayah pesisir pulau pulau kecil di Tangerang, bahwa dalam dokumen tersebut ada rencana Reklamasi sebesar 9000 hektare dengan nilai investasi mencapai 20 Triliun dan siapa investornya,” ungkap Mukri Friyatna Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, dikutip dalam wawancara eksklusif nya bersama iNews di lokasi pemagaran laut Tangerang pada Sabtu (18/1/2025) lalu.
Kata Mukri, yang paling akhir adalah setelah pengesahan tata ruang Provinsi Banten tahun 2023 yang menyebutkan hal yang sama, sekarang masih juga terjadi didalam dokumen penyusunan rencana pembangunan jangka panjang Kabupaten Tangerang untuk tahun 2025 sampai tahun 2045.
“Jadi memang ini motifnya adalah bisnis Reklamasi. Yang uniknya kalau masyarakat nggak yakin saya tampilkan pola peta pemanfaatan Tata Ruang, jadi ini pemerintah berkolaborasi atau bisnis dengan pemilik modal,” terang Mukri.
Menurutnya, cara mereka melakukan tipologi nya didalam legenda disebutkan daerah yang reklamasi tetapi mereka tutup dengan warna sehingga tidak terlihat.
“Kalau orang yang nggak faham peta ini nggak akan ngerti, jadi dalam legenda disebutkan jalan, nah rute itulah jalan yang sekarang dipasang jadi pagar sepanjang 30,16 kilometer,” jelas Mukri.
WALHI menyebutkan bahwa proyek reklamasi tersebut senilai 20 Triliun dan ada campur tangan pemerintah. “Jelas dalam dokumennya, mau nipu kayak mana lagi, dokumen Pemerintah yang menyusun,” ujarnya.
Lalu pertanyaannya kata dia, jika hal ini untuk kepentingan rakyat, maka rakyat yang mana. Dan jika dalam dokumen itu disebutkan bahwa ini adalah kawasan rentan tsunami terus buat apa reklamasi.
“Berarti mereka dengan sengaja mau menjerumuskan orang supaya menjadi korban tsunami, inikan nggak logis,” terang Mukri.
Mukri juga bilang, dalam mengatasi abrasi, serta mitigasi bencana dalam konsep nelayan yang sejati yang asli yang bukan tipologi, mereka pasti akan menanam mangrove, Ketapang, Api Api, Waru.
“Nggak ada rumusnya dari pagar bambu, itu ngarang, kalau sudah dapat kopi, udalah berhenti,” sindir Mukri atas adanya pernyataan JRP yang mengklaim pagar bambu itu untuk mitigasi bencana dan abrasi.
Tinggalkan Balasan