Suarageram.co – Tradisi serangan fajar atau money politic atau politik uang yang dilakukan oleh para pegiat politik saat pesta demokrasi berlangsung, dinilai akan melahirkan sosok pemimpin yang tak berkualitas serta doyan korupsi.
Hal itu dikatakan politisi muda asal Solear Tangerang Banten Juhanda SM, menurutnya, tiap kali mendekati pemilu, para calon kepala daerah, anggota legislatif, maupun kepala desa mengumbar janji manis kepada masyarakat.
“Tidak jarang juga sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako. Secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menuntun ke berbagai jenis korupsi lainnya,” ungkap Juhanda dalam menyikapi fenomena serangan fajar dalam pesta demokrasi Pilkades serentak di Kabupaten Tangerang, Sabtu (23/9/2023).
Menurut aktivis dan pengusaha muda ini, Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut maka, politik uang adalah salah satu bentuk suap.
“Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye,” terang Juhanda.
Akhirnya setelah menjabat, lanjut Juhanda, besar kemungkinan dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.
“Politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
Dijelaskannya, tentu saja itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
“Dari beberapa kajian, keberhasilan dalam Pemilu atau Pilkada maupun Pilkades 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang,” ujarnya.
Lebih jauh ia memaparkan, pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar.
“Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop,” jelas dia
Kata Juhanda, serangan fajar pada proses Demokrasi Indonesia telah dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang bagi-bagi rezeki.
Dalam survei tersebut ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya.
“Tidak hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, musti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan. Terjadi prisoner’s dilema di antara kandidat. Mereka khawatir pesaingnya akan melakukan serangan fajar, sehingga dia melakukan hal yang sama,” imbuh Juhanda.
Pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel.
“Maka kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik. Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompetensi atau kuat berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apa pun, ini bukan sosok pemimpin yang ideal,” sambung dia.
Kembali dia menegaskan, figur yang terpilih pada aspek tersebut mendorong korupsi di sektor-sektor yang lain. Hal ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang balik modal yang dikeluarkannya selama kampanye.
“Kerugiannya kepada masyarakat, pasti akan muncul pungutan liar, karena dia harus mencari sumber dana lain, bisa saja memotong anggaran, sehingga kualitas pembangun berkurang. Maka dalam hal ini masyarakat lah yang pasti akan dirugikan,” pungkas Juhanda SM. (Red).
Tinggalkan Balasan