Suarageram.co – Salah satu aktivis dari Aliansi Masyarakat Tangerang Berdaulat (ATB) Asmudyanto menyebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang dinilai yang paling bertanggung jawab soal kasus pagar laut, bukan hanya Kades Kohod.

Sebab kata Asmudyanto, kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang yang menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) secara tidak tepat.

Menurutnya, PKKPR menjadi pintu masuk utama lahirnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang kemudian berujung pada berdirinya pagar laut.

“Tanpa PKKPR, tidak akan mungkin ada SHGB di atas laut. Dan tanpa SHGB, pagar laut tidak pernah ada. Jadi masalahnya juga jelas ada pada Pemkab,” ujarnya.

IMG 20251002 122441
Pagar laut di perairan laut Tangerang Utara.

Kata Asmudyanto, Pemkab seharusnya hanya berwenang atas ruang darat. Namun, temuan menunjukkan bahwa sebagian titik koordinat PKKPR justru diterbitkan di wilayah laut.

“Ini jelas pelampauan kewenangan. Pemkab bertindak di luar batas otoritasnya, dan dari situlah persoalan besar ini lahir,” tegasnya.

Ia juga menyoroti prosedur survei lapangan yang semestinya menjadi filter penting. Menurutnya, survei dilakukan sekadar formalitas, tanpa verifikasi yang memadai.

“Kalau survei dilakukan benar, sejak awal akan terlihat bahwa lokasi itu laut. Fakta bahwa dokumen tetap diterbitkan membuktikan ada indikasi kesengajaan administratif,” ujarnya.

Asmudyanto menilai tindakan tersebut memenuhi kualifikasi pasal 3 UU Tipikor yang melarang pejabat publik menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan pihak tertentu dengan merugikan negara.

“Penerbitan PKKPR di laut yang kemudian melahirkan SHGB jelas masuk kategori penyalahgunaan wewenang. Unsur pasal itu terpenuhi,” tegasnya.

Sementara itu, Muhammad dari Aliansi Tangerang Berdaulat juga menilai proses hukum yang berjalan masih timpang. Menurutnya, persidangan baru menyentuh aktor di tingkat desa, padahal Pemkab dan pihak penerima manfaat belum tersentuh.

“Kalau hanya Kades yang diseret, hukum tampak tajam ke bawah, tumpul ke atas,” katanya.

Ia mendesak agar Jaksa tidak berhenti pada aktor kecil, melainkan berani menyeret semua pihak yang terlibat. Dia juga menilai transparansi di persidangan akan membuka mata rantai lebih besar di balik pagar laut.

“Jaksa harus membuktikan keberanian dengan mengungkap semua yang terlibat, termasuk pejabat yang menandatangani PKKPR,” ujarnya.

Selain aspek hukum, Muhammad juga menyoroti dampak pagar laut yang nyata merugikan masyarakat pesisir. Nelayan kehilangan akses terhadap ruang tangkap tradisional, ekosistem laut terganggu, dan negara dirugikan karena ruang publik diprivatisasi melalui sertifikat di atas laut.

“Kerugian yang ditimbulkan sangat multidimensi, bukan hanya administratif,” katanya.

Menurut Aliansi Masyarakat Tangerang Berdaulat ini, kasus pagar laut harus dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola ruang di Kabupaten Tangerang.

“Tanpa mengusut kebijakan PKKPR yang salah kaprah, keadilan substantif tidak akan tercapai. Pemkab Tangerang harus dimintai pertanggungjawaban karena dari mereka semua ini bermula,” tegasnya.

Aliansi Tangerang Berdaulat menutup pernyataannya dengan desakan keras agar aparat penegak hukum memperluas penyidikan, persoalan ini tidak berhenti pada perangkat desa yang dijadikan terdakwa, melainkan juga kepada pihak Pemkab Tangerang.

“Pagar laut adalah simbol penyalahgunaan kewenangan yang sistematis. Jaksa harus berani menyeret semua pihak agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi hukum dan tata ruang di Indonesia,” pungkas Asmudyanto dan Muhammad.