Suarageram.co – Hampir satu tahun laporan polisi (LP) dugaan penipuan senilai Rp 216 juta yang dialami oleh salah seorang masyarakat asal Jayanti Kabupaten Tangerang berinisial AL hingga kini tidak menunjukkan perkembangan berarti.

Padahal, laporan AL telah disertai alat bukti, menghadirkan terduga pelaku, serta menyerahkan barang bukti, namun pihak kepolisian Polres Tangerang Selatan (Tangsel) seolah mengabaikan kasus tersebut. Kondisi ini memperlihatkan adanya jurang antara prinsip kepastian hukum (legal certainty) dan praktik penegakan hukum yang dialami masyarakat di lapangan.

AL diketahui telah berulangkali menanyakan perkembangan kasus tersebut, alih-alih mendapat kepastian hukum, penyidik Satreskrim Polres Tangsel ini malah menjawab tengah mencari siapa “PENIKMAT” uang hasil penipuan tersebut. Bukan terfokus kepada pemeriksaan terhadap terduga pelaku yang sempat dihadirkan oleh korban.

Dalam kerangka negara hukum (rechtstaat), stagnasi penanganan perkara dalam jangka waktu panjang bukan sekadar persoalan teknis penyidikan, melainkan mencerminkan problem struktural dalam tata kelola penegakan hukum di tingkat kepolisian.

Aktivis Mahasiswa, Aziz Patiwara mengatakan, dalam teori keadilan dikenal prinsip justice delayed is justice denied. Ketika laporan pidana dibiarkan hampir satu tahun tanpa kepastian, maka negara sedang gagal memenuhi hak dasar warga atas keadilan.

Aziz menilai, lambannya proses hukum merupakan bentuk ketidakadilan prosedural (procedural injustice) yang berpotensi menggerus legitimasi institusi kepolisian.

Dalam perspektif good governance, aparat penegak hukum semestinya menjunjung tinggi asas transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas, terutama terhadap korban kejahatan.

“Kritik terhadap kinerja Polres Tangerang Selatan ini juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika internal institusi kepolisian setempat,” ucapnya.

Dimana, kata Aziz, baru-baru ini, *Kapolres Tangerang Selatan dimutasi menyusul mencuatnya kasus dugaan penggelapan barang bukti  narkoba jenis sabu sebanyak 20 Kilogram.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media nasional. Mutasi tersebut menambah catatan serius terkait tata kelola dan mirisnya Kapolres Tangerang Selatan hanya di mutasi seharusnya PTDH. pengawasan internal, serta integritas institusi di wilayah hukum Polres Tangsel.

Menurutnya, kondisi tersebut semestinya menjadi momentum evaluasi menyeluruh, bukan hanya sekadar rotasi jabatan. “Mutasi struktural ini tidak boleh berhenti sebagai solusi administratif. Yang dibutuhkan adalah pembenahan sistemik agar pelayanan hukum kepada masyarakat tidak terus menjadi korban,” ujarnya.

Azis menyebut, kritik yang disampaikan mahasiswa ini bukanlah upaya delegitimasi institusi, melainkan bentuk partisipasi warga negara dalam menjaga agar penegakan hukum tidak terjebak pada formalitas prosedural semata.

“Negara hukum tidak cukup diukur dari banyaknya laporan yang diterima aparat, tetapi dari sejauh mana laporan tersebut diproses secara adil, transparan, dan tepat waktu,” tegasnya.

“Jika hukum berhenti pada meja administrasi, maka yang bekerja bukan keadilan, melainkan birokrasi,” pungkasnya.

Lebih jauh, Aziz bersama jaringan aktivis dan akademisi muda lintas kampus menyatakan akan mendirikan Posko Pengaduan Masyarakat.

Posko ini dirancang sebagai instrumen kontrol sosial (social control) sekaligus ruang advokasi warga terhadap lambannya penanganan LP di Polres Tangerang Selatan.

Posko pengaduan yang akan dibentuk ini nantinya berfungsi sebagai pusat pengumpulan data empirik, dokumentasi LP mandek, serta kajian kritis berbasis pengalaman warga.

Seluruh temuan akan disusun dalam laporan akademik dan disampaikan kepada publik serta lembaga pengawas kepolisian sebagai bagian dari upaya mendorong reformasi institusional.